Kamis, 23 Desember 2010

Asuhan Keperawatan Pasien Benigna Prostat Hipertropi (BPH)

ASUHAN KEPERAWATAN BENIGNA PROSTAT HIPERTROPI


KONSEP DASAR
A. Pengertian
Benigna prostat hipertrofi adalah pembesaran progresif pada kelenjar prostat (secara umum pada pria lebih dari 50 tahun) yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius. (Doengoes, 2000: 67)
Benigna prostat hipertrofi adalah pembesaran adenomateus dari kelenjar prostat (Barbara C Long, 1996)
Benigna prostat hipertrofi adalah pembentukan jaringan prostat yang berlebihan karena jumlah sel bertambah, tetapi tidak ganas (Depkes 1999, hal 108)
Benigna prostat hipertrofi adalah hiperflasi peri uretral yang merusak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah (Syamsuhidayat, Jong. 1997: 1058)
B. Etiologi
Penyebab BPH belum jelas namun terdapat faktor resiko umur dan hormon enstrogen (Mansjoer, 2000 hal 329)
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperflasia prostat tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperflasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar Dehidrotesteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua).
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperflasia prostat adalah:
1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia lanjut
2. Peranan dari growth factor sebagai pemicu pertumbuhan stoma kelenjar prostat
3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati
4. Teori sel stem menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga menebabkan menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi kelenjar prostat menjadi berlebihan (poenomo, 2000, hal 74-75)
Penyebab BPH tidak diketahui, tapi tampaknya terdapat kaitan dengan perubahan derajat hormon yang dialami dalam proses lansia. (Barbara C Long, 1999: 32)
C. PATOFISIOLOGI
BPH sering terjadi pada pria yang berusia 50 tahun lebih, tetpai perubahan mikroskopis pada prostat sudah dapat ditemukan pada usia 30-40 tahun. Penyakit ini dirasakan tanpa ada gejala. Beberapa pendapat mengatakan bahwa penyebab BPH ada keterkaitan dengan adanya hormon, ada juga yang mengatakan berkaitan dengan tumor, penyumbatan arteri, radang, gangguan metabolik/ gangguan gizi. Hormonal yang diduga dapat menyebabkan BPH adalah karena tidak adanya keseimbangan antara produksi estrogen dan testosteron. Pada produksi testosteron menurun dan estrogen meningkat. Penurunan hormon testosteron dipengaruhi oleh diet yang dikonsumsi oleh seseorang. Mempengaruhi RNA dalam inti sel sehingga terjadi proliferasi sel prostat yang mengakibatkan hipertrofi kelenjar prostat maka terjadi obstruksi pada saluran kemih yang bermuara di kandung kemih. Untuk mengatasi hal tersebut maka tubuh mengadakan oramegantisme yaitu kompensasi dan dekompensasi otot-otot destruktor. Kompensasi otot-otot mengakibatkan spasme otot spincter kompensasi otot-otot destruktor juga dapat menyebabkan penebalan pada dinding vesika urinaria dalam waktu yang lama dan mudah menimbulkan infeksi.
Dekompensasi otot destruktor menyebabkan retensi urine sehingga tekanan vesika urinaria meningkat dan aliran urine yang seharusnya mengalir ke vesika urinaria mengalami selek ke ginjal. Di ginjal yang refluks kembali menyebabkan dilatasi ureter dan batu ginjal, hal ini dapat menyebabkan pyclonefritis. Apabila telah terjadi retensi urine dan hidronefritis maka dibutuhkan tindakan pembedahan insisi. Pada umumnya penderita BPH akan menderita defisit cairan akibat irigasi yang digunakan alat invasif sehingga pemenuhan kebutuhan ADC bagi penderita juga dirasakan adanya penegangan yang menimbulkan nyeri luka post operasi pembedahan dapat terjadi infeksi dan peradangan yang menimbulkan disfungsi seksual apabilla tidak dilakukan perawatan dengan menggunakan teknik septik dan aseptik.




D. PATHWAYS KEPERAWATAN
Perubahan Usia

Perubahan kesimbangan estrogen dan Progesteron

Testosteron menurun

Estrogen meningkat

Perubahan patologik anatomik

BPH

Retensi pada leher buli-buli dan prostat meningkat

Obstruksi saluran kemih yang bermuara di VU


Kompensasi otot detruktor Dekompensasi otot detruktor

Spasme otot sfinkter Penebalan dinding VU Retensi Urine

Nyeri suprapublik Kontraksi otot Aliran urine ke ginjal
(refluks VU)
Gg. Rasa nyaman nyeri Kesulitan berkemih
Tekanan ureter ke ginjal
Resiko infeksi
Kerusakan fungsi ginjal
Insisi prostat


Perdarahan Perubahan Eliminasi Resiko Resiko
Berkemih Infeksi disfungsi seksual


Keseimbangan Peregangan
Cairan terganggu
Spasme otot VU

Resiko kekurangan Nyeri(akut)
Volume cairan

(Mansjoer Arief, 2000, Long BC, 1996. Doengoes, 2000)


E. Manifestasi Klinikl
Gejala-gejala pembesaran prostat jinak dikenal sebagai lower urinary Tract Symtoms (LUTS) dibedakan menjadi gejala iritatif dan gejala obstruktif.
1. Gejala iritatif
Yaitu sering miksi (frekuensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), nyeri pada saat miksi (disuria)
2. Gejala Obstruktif
Yaitu pancaran melemah, rasa tidak lampias sehabis miksi, kalau mau miksi menunggu lama (hesistensi), harus mengejan (straining) kencing terputus-putus (intermittency) dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urine dan inkontinensia karena overlow.
Tanda dan gejala pada pasien yang telah lanjut penyakitnya yaitu gagal ginjal, peningkatan tekanandarah denyut nadi, respirasi. Tanda dan gejala dapat dilihat dari stadiumnya
a. Stadium I
Ada obstruksi tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis
b. Stadium II
Ada retensi urine tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak sampai habis, masih tersisi 50-150 cc
Ada rasa tidak enak pada waktu BAK (disuria)
Nokturia
c. Stadium III
Urine selalu tersisa 150 cc atau lebih
d. Stadium IV
Retensi Urine total buli-buli penuh, pasien kesakitan, urine menetes secar periodik. (Depkes, 1996, hal 109)
Untuk mengukur besarnya BPH dapat dipakai berbagai pengukuran, yaitu:
a. Rectal Grading
Dengan rectal toucher diperkirakan seberapa prostat menonjol ke dalam lumen dari rectum. Rectal toucher sebaiknya dilakukan dengan buli-buli kosong karena bila penuh dapat membuat kesalahan. Gradasi ini sebagai berikut:
0-1 cm . . . . . . . grade 0
1-2 cm . . . . . . . grade 1
2-3 cm . . . . . . . grade 2
3-4 cm . . . . . . . grade 3
>4 cm . . . . . . . grade 4
b. Clinical Granding
Pada pengukuran ini yang menjadi patokan adalah banyaknya usia Urine
Sisa urine 0 cc . . . . . . . . . . . . . . . normal
Sisa urine 0-50 cc . . . . . . . . . . . . . . . grade 1
Sisa urine 50-150 cc . . . . . . . . . . . . . . . grade 2
Sisa urine >150 cc . . . . . . . . . . . . . . . grade 3
Sama sekali tidak bisa kencing . . . . . . . grade 4
F. Komplikasi
Apabila buli-buli menjadi dekompensasi akan terjadi retensi urine karena produksi terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urine sehingga tekanan intravisiko meningkat dapat menimbulkan hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal tercepat terjadi jika infeksi karena selalu terdapat sisa urine dapat terbentuk batu endapan dalam buli-buli. Batu ini dapat menambah keluahan iritasi dan menimbulkan hematuria serta dapat juga menimbulkan sistitis dan bila terjadi reflek dapat terjadi pyelonefritis. Pada waktu miksi pasien harus mengejan sehingga lama kelamaan dapat menyebabkan hernia atau hemoroid.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Analisis Urine pemeriksaan mikroskopis urine untuk melihat adanya lekosit, bakteri dan infeksi
Elektrolit, kadar ureum, kreatinin darah untuk fungsi ginjal dan status metabolik
Pemeriksaan PSA (Prostat Spesifik Antigen) dilakukan sebagai dasar penentuan paknya biopsi atau sebagai deteksi dari keganasan
Darah lengkap
Leukosit
Blooding time
Liver fungsi
2. Pemeriksaan Radiologi
Foto polos abdomen
Prelograf intravena
USG
Sistoskopi
H. Penatalaksanaan
a. Observasi
b. Terapi medika mentosa (penghambat Adrenergik λ, penghambat enzim 5-λ-reduktase, fisioterapi)
c. Terapi bedah dan terapi infasiv
(Mansjoer Arif, 2000: 333)
I. Fokus Keperawatan
1. Pengkajian
a. Sirkulasi
Tanda: peningkatan tekanan darah (efek pembesaran ginjal)
b. Eliminasi
Gejala: penurunan kekuatan/ dorongan aliran urine, tetesan, keraguan-raguan pada berkemih awal.
Penurunan kekuatan/ dorongan aliran urine, tetesan
Ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih dengan lengkap
Dorongan dan frekuensi berkemih
Nokturia, disuria, hematuria
ISK berulang, riwayat batu (status urinaria)
Konstipasi
Tanda: massa: Padat di bawah abdomen (distensi kandung kemih) nyeri tekan kandung kemih, hernia inguinalis, hemoroid (mengakibatkan peningkatan tekanan abdominal yang memerlukan pengosongan kandung kemih.
c. Makanan/ cairan
Gejala: Anoreksia, mual, muntah, penurunan BB.
d. Nyeri/ kenyamanan
Gejala: Nyeri suprapubis, panggul, atau punggung, tajam, kuat (pada prostatisis akut)
e. Keamanan
Gejala: demam
f. Seksualitas,
Gejala: masalah tentang efek kondisi/ terapi pada kemampuan seksualitas. Takut incontinensia/ menetap selama hubungan ejakulasi.
Tanda: Pembesaran, nyeri tekan prostat
g. Penyuluhan/ pembelajaran
Gejala: Riwayat keluarga kanker, hipertensi, penyakit ginjal.
Penggunaan antihipertensi atau antidepresan, antibiotik urinari atau agen biotik, obat yang dijual bebas untuk flu/ alergi obat mengandung simpatometrik.
Pertimbangan: DRG menunjukkan merata selama dirawat di RS 22 hari.
Rencana pemulangan: memerlukan bantuan dengan management terapi. Contoh: kateter.
2. Fokus Intervensi
a. Retensi urine (akut/ kronik) berhubungan dengan obstruksi mekanik pembesaran prostat, dekompensasi otot destruktor ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
Kriteria hasil:
Berkemih dengan jumlah yang cukup, tidak teraba distensi kandung kemih
Menunjukkan risedu pasca berkemih kurang dari 50 cc dengan tidak adanya tetesan atau kelebihan aliran
Intervensi:
Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan
Rasional: meminimalkan retensi urine, distensi berlebihan pada kandung kemih
Observasi aliran urine, perhatikan ukuran dan kekuatan
Rasional: Berguna untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi
Awasi dan catat waktu serta jumlah tiap berkemih
Rasional: Retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan atas yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal
Palpasi atau perkusi area suprapubic
Rasional: Distensi kandung kemih dapat dirasakan di area suprapubic
Awasi TTV dengan ketat, observasi hipertensi, edema perifer, timbang tiap hari, pertahankan pemasukan dan pengeluaran yang akurat
Rasional: kehilangan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eliminasi cairan dan akumulasi sisa toksik, dapat berlanjut ke penurunan ginjal total
Beri/dorong kateter lain dan perawtan perineal
Rasional: Menurunkan resiko infeksi
Dorong masukan cairan sampai 300 ml sehari dalam toleransi jantung bila diindikasikan
Rasional: Peningkatan aliran cairan mempertahankan perfusi ginjal dan kandung kemih dan pertumbuhan bakteri
b. Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa, distensi kandung kemih.
Kriteria hasil:
Pasien mengatakan nyeri hilang atau terkontrol
Pasien tampak rileks
Pasien mampu untuk tidur atau istirahat dengan tenang
Intervensi
Kaji nyeri, pertahatikan lokasi, intensitas (skala 0-10), lamanya.
Rasional: memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan atau keefektifan intervensi
Plester selang drainase pada paha dan kateter abdomen
Rasional: Mencegah penarikan kandung kemih dan erosi pertemuan penis skrotal
Pertahankan tirah baring bila diindikasikan
Rasional: Tirah baring mungkin diperlukan pada awal selama fase retensi akut namun ambulasi dini dapat memperbaiki palo berkemih normal dan menghilangkan nyeri kolik
Beri tindakan kenyamanan, misal: membantu pasien melakukan posisi yang nyaman, latihan nafas dalam
Rasional: Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dapat meningkatkan kemampuan koping
c. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasca obstruksi diuresia dan drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis.
Kriteria hasil:
Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer teraba, pengisian kapiler baik dan membran mukosa lembab
Intervensi:
Awasi keluaran dengan hati-hati, tiap jam bila diindikasikan. Perhatikan keluaran 100-200 ml/jam
Rasional: Deuresis cepat dapat menyebabkan kekurangan volume total cairan, karena ketidakcukupan jumlah natrium diabsorbsi dalam tubulus ginjal
Dorong peningkatan pemasukan oral berdasrkan kebutuhan individu
Rasional: Pasien dibatasi pemasukan oral dalam upaya mengontrol gejala urinaria, homeostatik pengurangan cadangan dan peningkatan resiko dehidrasi atau hipovolemia
Awasi TD, nadi dengan sering. Evaluasi pengisian kapiler dan membran mukosa oral
Rasional: Memampukan deteksi dini/ intervensi hipovolemik, sistemik
Tingkatkan tirah baring dengan kepala tinggi
Rasional: Menurunkan kerja jantung, memudahkan homeostatis sirkulasi.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito Linda Juan. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. EGC: Jakarta.
Doengoes E Marilyn. 1999. Rencana Asuhan Keperawtan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC: Jakarta.
Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. EGC: Jakarta.
Syamsuhidayat, R. 1997. Keperawtan medikal Bedah. EGC: Jakarta.

Rabu, 22 Desember 2010

Asuhan Keperawatan Empiema Thoraksis

ASUHAN KEPERAWATAN EMPIEMA THORAKSIS


A. DEFINISI
Emphiema thoraksis adalah penyakit yang ditandai dengan adanya penumpukan cairan terinfeksi atau pus pada kavitas pleural (Brunner and Suddart, 2000). Emphiema thorak juga dapat berarti adanya proses supuratif pada rongga pleura.

B. ETIOLOGI
1. Infeksi yang berasal dari dalam paru :
a. Pneumonia
b. Abses paru
c. Bronkiektasis
d. TBC paru
e. Aktinomikosis paru
f. Fistel Bronko-Pleura
2. Infeksi yang berasal dari luar paru :
a. Trauma Thoraks
b. Pembedahan thorak
c. Torasentesi pada pleura
d. Sufrenik abses
e. Amoebic liver abses

C. PATHOFISIOLOGI DAN PATHWAYS
Akibat invasi basil piogenik ke pleura akan mengakibatkan timbulnya radang akut yang diikuti pembentukan eksudat serous. Dengan banyaknya sel PMN yang mati akan meningkatkan kadar protein dimana mengakibatkan timbunan cairan kental dan keruh. Adanya endapan-endapan fibrin akan membentuk kantong-kantong yang melokalisasi nanah tersebut.

Apabila nanah menembus bronkus, timbul fistel bronkus pleural. Sedangkan bila nanah menembus dinding thorak dan keluar melalui kulit disebut emphiema nesessitasis. Emphiema dapat digolongkan menjadi akut dan kronis. Emphiema akut dapat berlanjut ke kronis. Organisasi dimuli kira-kira setelah seminggu dan proses ini berjalan terus sampai terbentuknya kantong tertutup.

PATHWAYS



D. TANDA DAN GEJALA
1. Emphiema akut
Panas tinggi dan nyeri pleuritik
Adanya tanda-tanda cairan dalam rongga pleura
Bila dibiarkan sampai beberapa minggu akan menimbulkan toksemia, anemia, dan clubbing finger
Nanah yang tidak segera dikeluarkan akan menimbulkan fistel bronco-pleural
Gejala adanya fistel ditandai dengan batuk produktif bercampur dengan darah dan nanah banyak sekali

2. Emphiema kronis
Disebut kronis karena lebih dari 3 bulan
Badan lemah, kesehatan semakin menurun
Pucat, clubbing finger
Dada datar karena adanya tanda-tanda cairan pleura
Terjadi fibrothorak trakea dan jantung tertarik kea rah yang sakit
Pemeriksaan radiologi menunjukkan cairan

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Foto thorak
b. Tes kultur dan kepakaan dari drainase hasil aspirasi dari pleura

F. KOMPLIKASI
Fistel Bronko pleura
Syok
Sepsis
Gagal jantung kongesti

G. PENATALAKSANAAN
Pengosongan nanah
Antibiotika
Penutupan rongga emphiema
Pengobatan kausal
Pengobatan tambahan

H. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
a. Biodata
b. Riwayat kesehatan : pernah mengalami pembedahan thorak, menderita abses paru, TBC, Pneumonia
c. Data obyektif :
Suhu tubuh diatas normal saat inflamasi akut pleura
Perkusi paru redup
Tidur miring kea rah yang sakit
Pernafasan cupping hidung
Ekspansi dada asimetri
Penurunan atau tidak terdengar bunyi nafas diatas area yang terkena
Batuk produktif
Malaise
Keletihan
Takikardia, takipnea
Foto dada
Torasentesis
GDA : Pa O2

d. Data subjektif :
Mengeluh sesak nafas
Nyeri daerah dada yang mengalami pleuritis
Nyeri pada daerah insisi post pemasangan WSD

I. DIAGNOSA DAN INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan ketidakedekuatan ekspansi dada (penumpukan udara/cairan)
Intervensi :
Kaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan
Perhatikan gerakan dada dan posisi trakea, auskultasi bunyi nafas setiap 2 jam sampai 4 jam
Yakinkan dan cobalah menenangkan pasien. Baringkan pasien dalam posisi untuk mendapatkan pernafasan optimal dalam posis duduk dengan kepala tempat tidur ditinggikan 60-70 derajat
Berikan terapi oksigen via kanul dengan 2-6 L/mnt sesuai pesanan kecuali ada kontra indikasi
Monitor tanda-tanda vital setiap 2-4 jam
Hindari peregangan, atau gerakan yang mendadak. Berikan dukungan emosional, tetaplah bersama pasien setelah periode ansietas tinggi.
Teruskan dengan perawatan akut dan mengurangi fungsi perawat sejalan dengan peningkatan kondisi pasien

2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan suplai oksigen
Intervensi :
Kaji terhadap tanda dan gejala hipoksemia
Pantau hasil pemeriksaan gas darah arteri
Observasi terhadap tanda penurunan upaya pernafasan
Observasi terhadap ekspansi dada yang tidak seimbang
Berikan tambahan oksigen sesuai dengan pesanan, Bantu dengan intubasi endotrakeal, dan ventilasi mekanik sesuai yang diperlukan
Pantau fungsi dan patensi selang dada. Berikan waktu istirahat untuk mengurangi kebutuhan oksigen

3. Nyeri dada berhubungan dengan factor-faktor biologis ( trauma jaringan) dan factor-faktor fisik (pemasangan selang dada)
Intervensi :
Kaji terhadap adanya nyeri (verbal dan non verbal)
Berikan anlgetik sesuai pesanan
Kaji efektifitas tindakan penurunan rasa nyeri
Berikan obat pada pasien sebelum latihan batuk/bernafas. Instruksikan pasien untuk teknik pembebatan
Amankan selang dadauntuk membatasi gerakan dan menghindari gesekan

4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang penatalaksanaan perawatan mandiri
Intervensi :
Kaji tingkat pengertian mengenai proses penyakit dan factor-faktor yang mempengaruhi
Jelaskan pentingnya untuk melakukan latihan sesuai dengan toleransi, untuk menghindari keletihan dan istirahat sesuai dengan rencana
Jelaskan pentingnya untuk menghindari aktifitasatau latihan yang memberikan stress, terutama olah raga kontak fisik. Jelaskan pentingnya untuk tidak merokok
Jelaskan pentingnya untuk menghindari orang yang sedang terkena infeksi terutama ISPA, Jelaskan pentingnya perawatan rawat jalan yang berkelanjutan
Diskusikan mengenaigejala yang harus dilaporkan kepada dokter
Diskusikan mengenai program pengobatan

Elektrokardiografi

ELEKTROKARDIOGRAFI


I. DEFINISI
Electrocardiography adalah ilmu yang mempelajari aktivitas listrik jantung. Sedangkan electrocardiogram adalah grafik yang menggambarkan rekaman listrik jantung.
Kegiatan listrik jantung sering di jantung sering dihubungkan dengan perjalanan impulsdari jantung yang dihantarkan menuju jaringan tubuh dan dapat diukur pada permukaan tubuh dengan menggunakan suatu galvanometer ( suatu mesin yang digunakan untuk mengukur arus listrik ). Galvanometer digunakan untuk mendeteksi dan meningkatkan aktivitas listrik yang relative kecil dari jantung dan kemudian dapat digambarkan pada kertas yang disebut sebagai elektrokardiogram (EKG).
EKG dapat mencatat aktivitas listrik miokardium dari 12 posisi yang berbeda ; 3 posisi standar, 3 posisi unipolar, dan 6 posisi dada. Informasi ini sangat berguna dalam mendiagnosa penyakit-penyakit kardiovaskuler seperti angina pectoris atau miokardial infark.

Sistem Konduksi Jantung
Jantung memiliki system dimana selnya mempunyai kemampuan untuk membangkitkan dan menghantarkan impuls listrik secara spontan. Setiap denyut jantung normal merupakan hasil pembangkitan impuls listrik di nodus Sino-Atrial yang mengatur ferkuensi dan irama denyutan jantung. Pola hantaran normal jantung dikenal sebagai irama sinus ( sinus rhythm ).
Impuls jantung akan meninggalkan SA Node dan berpencar menuju otot atrium melalui jalur intra atrium, sehingga mengakibatkan kontraksi kedua atrium. Impuls kemudian menjalar ke nodus Atrio-Ventrikuler yang memberikan waktu kontraksi kedua atrium dan memastikan pengisian darah di ventrikel. Impuls kemudian dihantarkan ke bundle his dan diteruskan menuju serabut purkinje. Peristiwa ini tidak lebih dari beberapa detik dan mengakibatkan kontraksi ventrikel. Hantaran impuls sepanjang serabut serabut khusus, 5 kali lebih cepat dibandingkan pada serabut otot jantung tidak khusus. Transmisi impuls yang cepat ini merangsang sel otot melalui kedua ventrikel kontraksi secara terus-menerus (simultan).
Jalur hantaran listrik di bagian lain juga memiliki kemampuan membangkitkan impuls, tetapi impuls ini terjadi hanya pada keadaan abnormal. Frekuensi denyutan alami pada jalur hantaran pacemaker, yaitu :
SA Node 60 – 100 kali/menit
AV Node 40 – 60 kali /menit
Sistem purkinje 25 - 40 kali /menit

II. INDIKASI
Digunakan untuk untuk mendapatkan informasi kegiatan listrik pada kondisi – kondisi sebagai berikut :
Disritmia jantung
Iskemia miokard ( angina pectoris )
Lokasi dan perluasan daerah infark miokard
Hipertrofi jantung
Ketidakseimbangan elektrolit
Keefektifan obat-obat jantung

III. PROSEDUR
Alat-alat yang dibutuhkan :
Mesin Elektrokardiogram
Elektroda ekstremitas
Elektroda isap ( suction electrode )
Kawat penghubung klien dan kawat penghubung tanah / grounding
Kapas dan alcohol
Elektroda jelly


Persiapan Klien dan Peralatan
Perekaman yang dilakukan adalah 12 sadapan lengkap yaitu ; standar leads, unipolar lead, dan precordial leads. Kabel yang digunakan ada 2 macam yaitu 4 kabel terpisah untuk ekstremitas dan 6 kabel untuk sadapan prekordial.

Persiapan Klien
1. Anjurkan klien untuk berbaring dengan tenag dan daerah dada dibuka. Berikan penjelasan mengenai tujuan dan jalannya prosedur pemeriksaan. Kepala diberikan bantal dan perhiasan yang dipakai dilepaskan.
2. Bersihkan permukaan kulit kedua pergelangan tangan dan kaki dengan menggunakan kapas beralkohol.
3. Berikan keempat elektroda ekstremitas dengan EKG jelly secukupnya dan pasang elektroda tersebut di tempat yang telah dibersihkan.
4. Hubungkan kabel penghubung klien dengan elketroda sebagai berikut :
Kabel RA (right arm) merah dihubungkan dengan elektroda tangan kanan
Kabel LA (left arm) kuning dihubungkan dengan elketroda tangan kiri
Kabel LL (left leg) hijau dihubungkan dengan elektroda di kaki kiri
Kabel RL (right leg) hitam dihubungkan dengan elketroda di kaki kanan.
5. Bersihkan permukaan kulit dada dengan kapas alcohol, berikan jelly juga, pasang elektroda di tempat yang telah dibersihkan.
6. Hubungkan kabel penghubung klien dengan elektroda sebagai berikut :
C1 : ICS 4 garis sternal kanan, dengan kabel merah
C2 : ICS 4 gari strenal kiri, dengan kabel kuning
C3 : pertengahan garis lurus antara C1 dan C2, warna hijau
C4 : ICS 5 kiri di garis midklavikula
C5 : titik potong garis aksila kiri dengan garis mendatar C4
C6 : titik potong garis aksila kiri dengan garis mendatar dari C4 dan C5.
C1 dan C2 merupakan titik untuk mendengarkan bunyi jantung I dan II



Persiapan Peralatan
7. Bersihkan permukaan elektrodan dengan kapas alcohol/tissue
8. Nyalakan power on / off alat EKG, hubungkan kabel klien dengan mesin.
9. Atur kecepatan alat dan pneraan kepekaan alat.
10. Tekan star-stop untuk memulai dan mengakhiri perekaman
11. Dengan menekan tombol yang sesuai, catat berturut-turut :
Hantaran satndar Einthoven : I, II, III
Hantaran “Augmented extremity leads: : aVL, aVR, dan aVF.
Hantaran “Wilson perkordial leads” : V1, V2, V3, V4, V5, dan V6.
Tiap hantaran dicatat untuk 3-5 siklus.
12. Tuliskan identitas klien di pojok kiri atas, meliputi : nama, usia, jenis kelamin, jam pemeriksaan.
13. Setelah selesai pencatatan, rapikan dan bersihkan alat seperti semula
14. Tempelkan hasil perekaman serapi mungkin di lembar lampiran.





DAFTAR PUSTAKA
Hudak & Gallo.(1994). Critical care nursing : a holistic approach.
(7th edition). Lippincott : Philadelphia..

Muhiman. (2001). Penatalaksanaan pasien di intensive care unit. Jakarta :
BP FKUI.






IV. ANALISA ELEKTROKARDIOGRAM




Nama:……………Kelamin: L/P Umur:……… TB :………..cm
BB :…….Kg Tekanan darah :……….mmHg
Catatn klinik dan pengobatan :………………………………………….
a. Frekuensi denyut jantung;……………..x/menit N ( 60 – 100 x/mnt)
b. Irama jantung :…………………….. N ( sinus rhythm )
c. Gelombang P :…………………….. N (
d. Interval P-R :………………….detik N ( 0,12 – 0,20 detik )
e. Kompleks QRS :
Interval ;………………….detik N ( 0,06 – 0,12 )
VAT :…………………. detik
Koreksi interval QT :…………………..detik
f. Gelombang T :………………….. N (positif di I,II,V3-V6)
g. Gelombang U :…………………. N ( defleksi positif )

Kesimpulan : 1. EKG normal
2. EKG dalam batas normal
3. EKG pada “borderline”
4. EKG pathologis dengan tanda-tanda:……………….
5. EKG pathologis yang non spesifik

Anjuran : * Mengulangi pemeriksaan, tanggal :……………………
Ulangi pemeriksaan EKG secara berkala tiap :………..
Lain-lain………………………….
Pemeriksa

(……………………….)



Asuhan Keperawatan Diabetes Mellitus, DM

ASUHAN KEPERAWATAN DIABETES MELLITUS


A. Pengertian
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner dan Suddarth, 2002).
Diabetes Melllitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Arjatmo, 2002).

B. Klasifikasi
Klasifikasi diabetes mellitus sebagai berikut :
1. Tipe I : Diabetes mellitus tergantung insulin (IDDM)
2. Tipe II : Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM)
3. Diabetes mellitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya
4. Diabetes mellitus gestasional (GDM)

C. Etiologi
1. Diabetes tipe I:
a. Faktor genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA.
b. Faktor-faktor imunologi
Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen.
c. Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan destruksi selbeta.
2. Diabetes Tipe II
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.
Faktor-faktor resiko :
a. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th)
b. Obesitas
c. Riwayat keluarga



D. Patofisiologi/Pathways


E. Tanda dan Gejala
Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada DM umumnya tidak ada. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf. Pada DM lansia terdapat perubahan patofisiologi akibat proses menua, sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai kasus dengan komplikasi yang luas. Keluhan yang sering muncul adalah adanya gangguan penglihatan karena katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatan lazim.
Menurut Supartondo, gejala-gejala akibat DM pada usia lanjut yang sering ditemukan adalah :
1. Katarak
2. Glaukoma
3. Retinopati
4. Gatal seluruh badan
5. Pruritus Vulvae
6. Infeksi bakteri kulit
7. Infeksi jamur di kulit
8. Dermatopati
9. Neuropati perifer
10. Neuropati viseral
11. Amiotropi
12. Ulkus Neurotropik
13. Penyakit ginjal
14. Penyakit pembuluh darah perifer
15. Penyakit koroner
16. Penyakit pembuluh darah otak
17. Hipertensi
Osmotik diuresis akibat glukosuria tertunda disebabkan ambang ginjal yang tinggi, dan dapat muncul keluhan nokturia disertai gangguan tidur, atau bahkan inkontinensia urin. Perasaan haus pada pasien DM lansia kurang dirasakan, akibatnya mereka tidak bereaksi adekuat terhadap dehidrasi. Karena itu tidak terjadi polidipsia atau baru terjadi pada stadium lanjut.
Penyakit yang mula-mula ringan dan sedang saja yang biasa terdapat pada pasien DM usia lanjut dapat berubah tiba-tiba, apabila pasien mengalami infeksi akut. Defisiensi insulin yang tadinya bersifat relatif sekarang menjadi absolut dan timbul keadaan ketoasidosis dengan gejala khas hiperventilasi dan dehidrasi, kesadaran menurun dengan hiperglikemia, dehidrasi dan ketonemia. Gejala yang biasa terjadi pada hipoglikemia seperti rasa lapar, menguap dan berkeringat banyak umumnya tidak ada pada DM usia lanjut. Biasanya tampak bermanifestasi sebagai sakit kepala dan kebingungan mendadak.
Pada usia lanjut reaksi vegetatif dapat menghilang. Sedangkan gejala kebingungan dan koma yang merupakan gangguan metabolisme serebral tampak lebih jelas.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Glukosa darah sewaktu
2. Kadar glukosa darah puasa
3. Tes toleransi glukosa
Kadar darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring diagnosis DM (mg/dl)
Bukan DM Belum pasti DM DM
Kadar glukosa darah sewaktu
- Plasma vena
- Darah kapiler
Kadar glukosa darah puasa
- Plasma vena
- Darah kapiler


Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan :
1. Glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl (11,1 mmol/L)
2. Glukosa plasma puasa > 140 mg/dl (7,8 mmol/L)
3. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl

G. Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi diabetes mellitus adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi komplikasi vaskuler serta neuropati. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa darah normal.
Ada 5 komponen dalam penatalaksanaan diabetes :
1. Diet
2. Latihan
3. Pemantauan
4. Terapi (jika diperlukan)
5. Pendidikan

H. Pengkajian
Riwayat Kesehatan Keluarga
Adakah keluarga yang menderita penyakit seperti klien ?
Riwayat Kesehatan Pasien dan Pengobatan Sebelumnya
Berapa lama klien menderita DM, bagaimana penanganannya, mendapat terapi insulin jenis apa, bagaimana cara minum obatnya apakah teratur atau tidak, apa saja yang dilakukan klien untuk menanggulangi penyakitnya.
Aktivitas/ Istirahat :
Letih, Lemah, Sulit Bergerak / berjalan, kram otot, tonus otot menurun.

Sirkulasi
Adakah riwayat hipertensi,AMI, klaudikasi, kebas, kesemutan pada ekstremitas, ulkus pada kaki yang penyembuhannya lama, takikardi, perubahan tekanan darah
Integritas Ego
Stress, ansietas
Eliminasi
Perubahan pola berkemih ( poliuria, nokturia, anuria ), diare
Makanan / Cairan
Anoreksia, mual muntah, tidak mengikuti diet, penurunan berat badan, haus, penggunaan diuretik.
Neurosensori
Pusing, sakit kepala, kesemutan, kebas kelemahan pada otot, parestesia,gangguan penglihatan.
Nyeri / Kenyamanan
Abdomen tegang, nyeri (sedang / berat)
Pernapasan
Batuk dengan/tanpa sputum purulen (tergangung adanya infeksi / tidak)
Keamanan
Kulit kering, gatal, ulkus kulit.

I. Masalah Keperawatan
1. Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan
2. Kekurangan volume cairan
3. Gangguan integritas kulit
4. Resiko terjadi injury

J. Intervensi
1. Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penurunan masukan oral, anoreksia, mual, peningkatan metabolisme protein, lemak.
Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi
Kriteria Hasil :
Pasien dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien yang tepat
Berat badan stabil atau penambahan ke arah rentang biasanya
Intervensi :
Timbang berat badan setiap hari atau sesuai dengan indikasi.
Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang dapat dihabiskan pasien.
Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen / perut kembung, mual, muntahan makanan yang belum sempat dicerna, pertahankan keadaan puasa sesuai dengan indikasi.
Berikan makanan cair yang mengandung zat makanan (nutrien) dan elektrolit dengan segera jika pasien sudah dapat mentoleransinya melalui oral.
Libatkan keluarga pasien pada pencernaan makan ini sesuai dengan indikasi.
Observasi tanda-tanda hipoglikemia seperti perubahan tingkat kesadaran, kulit lembab/dingin, denyut nadi cepat, lapar, peka rangsang, cemas, sakit kepala.
Kolaborasi melakukan pemeriksaan gula darah.
Kolaborasi pemberian pengobatan insulin.
Kolaborasi dengan ahli diet.

2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik.
Tujuan : kebutuhan cairan atau hidrasi pasien terpenuhi
Kriteria Hasil :
Pasien menunjukkan hidrasi yang adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer dapat diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urin tepat secara individu dan kadar elektrolit dalam batas normal.

Intervensi :
Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan TD ortostatik
Pantau pola nafas seperti adanya pernafasan kusmaul
Kaji frekuensi dan kualitas pernafasan, penggunaan otot bantu nafas
Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa
Pantau masukan dan pengeluaran
Pertahankan untuk memberikan cairan paling sedikit 2500 ml/hari dalam batas yang dapat ditoleransi jantung
Catat hal-hal seperti mual, muntah dan distensi lambung.
Observasi adanya kelelahan yang meningkat, edema, peningkatan BB, nadi tidak teratur
Kolaborasi : berikan terapi cairan normal salin dengan atau tanpa dextrosa, pantau pemeriksaan laboratorium (Ht, BUN, Na, K)

3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status metabolik (neuropati perifer).
Tujuan : gangguan integritas kulit dapat berkurang atau menunjukkan penyembuhan.
Kriteria Hasil :
Kondisi luka menunjukkan adanya perbaikan jaringan dan tidak terinfeksi
Intervensi :
Kaji luka, adanya epitelisasi, perubahan warna, edema, dan discharge, frekuensi ganti balut.
Kaji tanda vital
Kaji adanya nyeri
Lakukan perawatan luka
Kolaborasi pemberian insulin dan medikasi.
Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.



4. Resiko terjadi injury berhubungan dengan penurunan fungsi penglihatan
Tujuan : pasien tidak mengalami injury
Kriteria Hasil : pasien dapat memenuhi kebutuhannya tanpa mengalami injury
Intervensi :
Hindarkan lantai yang licin.
Gunakan bed yang rendah.
Orientasikan klien dengan ruangan.
Bantu klien dalam melakukan aktivitas sehari-hari
Bantu pasien dalam ambulasi atau perubahan posisi


DAFTAR PUSTAKA

Luecknote, Annette Geisler, Pengkajian Gerontologi alih bahasa Aniek Maryunani, Jakarta:EGC, 1997.

Doenges, Marilyn E, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3 alih bahasa I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, Jakarta : EGC, 1999.

Carpenito, Lynda Juall, Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 alih bahasa YasminAsih, Jakarta : EGC, 1997.

Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin asih, Jakarta : EGC, 2002.

Ikram, Ainal, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Diabetes Mellitus Pada Usia Lanjut jilid I Edisi ketiga, Jakarta : FKUI, 1996.

Arjatmo Tjokronegoro. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu.Cet 2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2002

Asuhan Keperawatan Demam Berdarah Dengue

ASUHAN KEPERAWATAN DEMAM BERDARAH
(DENGUE HAEMORRAGIC FEVER)


A. PENGERTIAN
Demam berdarah dengue atau haemorrogicfever adalah penyaki infeksi akut yang disebabkan oleh viru dengue (Albovirus) dan ditularkan oleh nyamuk aedes, yaitu aedes aegypti dan aedes albopictus.

B. PENYEBAB
Virus dengue tergolong famili/grup Flavividae yang dukenal ada 4 Serotipe, yaitu Den-1, Deb-2,Den-3,dan Den-4. Den- dan Den-3 merupakan serotype yang paling banyak diketemukan sebagai penyebab.

C. TANDA DAN GEJALA
a. Kriteria Klinis Deferensial
- Suhu badan yang tiba-tiba meninggi
- Demam yang berlangsung hanya beberapa hari
- Kurva demam menyerupai pelana kuda
- Nyeri tekan terutama pada otot dan persendian
- Leukopenia
b. Kriteria WHO 1986
- Demam akut yang cukup tinggi 2 – 7 hari, kemudian turun secara lisis. Demam disertai gejala tidak spesifik seperti anoreksia, malaise, nyeri pada punggung, tulang persendian, dan kepala.
- Manifestasi perdarahan seperti uji tornikuet positif, petekie, purpura, ekimosis, epistaksis, perdwarahan gusi, hematemesis dan melena.
- Pembesaran hati dan nyeri tekan tanpa ikterus
- Dengan atau tanpa renjatan
- Kenaikan hematokrit > 20%

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Darah
- Leukopenia dijumpai pada hari ke 2 atau ke 3
- Dujimpai juga trombositopenia dan hemokonsentrasi
- Masa pembekuan normal, masa perdarahan memanjang
- Pada pemeriksaan kimia darah tampak hipoproteinemia, hiponatremia, SGPT/SGOT, ureum dan pH darah mungkin meningkat.
b. Air Seni
Mungkin ditemukan albuminurea ringan
c. Sumsum Tulang
Pada awal sakit biasanya hiposeluler, kemudian pada hari ke 5 hiperseluler dengan gangguan maturasi. Pada hari ke 10 kembali normal.
d. Uji Serologi
Dengan serum ganda ( Ig M ) dan serum tunggal ( Ig G )
e. Isolasi Virus

E. PATOFISIOLOGI
Setelah virus dengue masuk ke dalam tubuh, penderita akan mengalami keluhan dan gejala karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal seluruh tubuh, hyperemia di tenggorok, timbulnya ruam dan kelainan yang mungkin terjadi pada system retikolo endothelial seperti pembesaran kelenjar-kelenjar getah bening, hati dan limpa.
Peningkatan premeabilitas dinding kapiler mengakibatkan berkurangnya volume plasma, terjadinya hipotensi, hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi dan renjatan ( Shock ). Sebagai akibat dari pelepasan zat anafilatoxin, histamine dan serotonin serta aktivitas system kalikrein yang mangakibatkan ekstravasasi cairan intravaskuler ke ekstravaskuler.
Peningkatan permeabilitas dinding kapiler jyga berakibat pembesaran kapiler yang kamudian bisa terjadi perdarahan berupa petekie, epistaksis, haematemesis dan melena, yang dalam hal ini beresiko terjadinya shock hipovolemik.
Homokonsentrasi ( peningkatan kematokrit > 20 % ) menunjukkan adanya kebocoran plasma, sehingga nilai hematokrit sangat penting untuk patokan pemberian cairan intravena.
Setelah pemberian cairan intravena, peningkatan jumlah eritrosit menunjukkan kabocoran plasta telah teratasi, sehingga pamberian cairan intravena harus dikurang untuk mencegah edema paru dan gagal jantung. Sebaliknmya bila tidak mendapatkan cairan yang cukup penderita akan mengalami kekurangan cairanyang dapat mengalami hipovolemik / renjatan yang bisa timbul anoksia jaringan, metabolic asidosis dan kematian apabila tidak teratasi segera.

F. PENGKAJIAN FOKKUS
a. Riwayat Kesehatan meliputi
- Tempat tinggal
- Kondisi lingkungan
- Adakah riwayat bepergian dari kota ( wilayah endemic )
- Riwayat pekerjaan
- Faktor pencetus daan lamanya keluhan
b. Tanda – tanda vital
c. Pola nutrisi
d. Pola aktivitas
e. Nyeri / Kenyamanan





















G. PATHWAYS KEPERAWATAN

Virus Dengue
( masuk melalui gigitan nyamuk aedes agypti )


Dengue Haemorragic Fever


Reaksi immunologi Kompleks virus


Pelepasan Pirogen Reaksi antigen antibody


- Pembesaran getah Pelepasan asam Anti histamine Penurunan kemam
bening arakidonat pd dilepas puan pembekuan
- Hepatomegali hipotalamus darah
- Splenomegali
Permeabilitas - Perdarahan
Pireksia kapiler - Petekie
Penekanan pd Peningkatan - Epistaksis
Daerah gaster stimulasi - Hematemesis
nosiseptor Hipertermia Kehilangan - melena
plasna darah

Anoreksia Nyeri Dehidrasi Resiko Shock
Hipovolemik

Gangguan pemenuhan Defisit Volume Hipovolemia
kebutuhan nutrisi cairan

- Anoklosi jaringan
- Asidosis metabolik

















H. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Hipertermi berhubungan dengan pelepasan asam arakidonat pada hipotalamus sekunder terhadap pelepasan zat pirogen.
2. Nyeri berhubungan dengan peningkatan stimulasi nosiseptor sekunder terhadap peradangan ( proses inflamasi )
3. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, anoreksia sekunder terhadap penekanan pada daerah gaster.
4. Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan plasma darah sekunder terhadap reaksi immunologi
5. Resiko shock hipovolemi berhubungan dengan perdarahan sekunder terhadap pembesaran kapiler.

I. FOKUS INTERVENSI DAN RASIONAL
1. Hipertermi berhubungan dengan pelepasan asam arakidonat pada hipotalamus sekunder terhadap pelepasan zat pirogen.
Intervensi :
a. Kaji saat timbulnya nyeri
b. Kaji tanda- tanda vital tiap 8 jam
c. Beri penjelasan tentang penyebab demam
d. Beri penjelasan pada klien / keluarga tentang hal –hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi demam
e. Pertahankan tirah baring
f. Anjurkan klien untuk banyak minum 2,5 liter / 24 jam
g. Berikan kompres hangat
h. Anjurkan untuk memakai pakaian yang dapat menyerap keringat
i. Kolaborasi untuk mpemberian antipiretik
Rasional :
a. Untuk mengidentifikasi pola demam
b. Tanda vital dipakai sebagai pedoman untuk mengetahui keadaan umum klien
c. Penjelasan yang diberikan dapat membantu menurunkan kecemasan
d. Keterlibatan keluarga dapat membantu dalam proses penyembuhan.
e. Mengurangi peningkatan metabolisme tubuh yang dapat mempengaruhi peningkatan suhu tubuh.
f. Dalam kondisi demam terjadi peningkatan evaporasi yang memicu timbulnya dehidrasi sehingga memerlukan asupan cairan yang adekuat
g. Menghambat pusat simpisis di hipotalamus sehingga terjadi vasodilatasi kulit dengan merangsang kelenjar keringat untuk mengurangi panas tubuh melalui penguapan.
h. Kondisi kulit yang lembab memicu timbulnya pertumbuhan jamur serta mencegah timbulnya ruam kulit dan membantu proses penguapan.
i. Untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada hipotalamus
2. Nyeri berhubungan dengan peningkatan stimulasi nosiseptor sekunder terhadap peradangan ( proses inflamasi )
Intervensi :
a. Mengkaji tingkat nyeri dengan rentang nyeri skala 0 - 10
b. Beri posisi dan suasana yang nyaman
c. Kaji bersama klien penyebab nyeri yang dialami
d. Ajarkan pada klien metoda distraksi selama nyeri akut
e. Ajarkan tindakan penurun nyeri invasive
f. Kolaborasi untuk pemberian analgetik
Rasional :
a. Untuk mengetahui tingkat nyeri yang dialami klirn sesuai dengan respon individu terhadap nyeri
b. Membantu menurunkan ketegangan yang dapat meningkatkan nyeri
c. Membantu klien dalam memilih cara yang nyaman untuk mengurangi nyeri
d. Dapat membantu mengalihkan perhatian selama nyeri
e. Mengurangi nyeri tanpa beban / rasa yang menyakitkan
f. Dapat menurunkan nyeri secara optimal
3. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, anoreksia sekunder terhadap penekanan pada daerah gaster.
Intervensi :
a. Kaji kebiasaan diit klien
b. Kaji adanya keluhan mual
c. Beri makanan yang mudah dicerna
d. Hidangkan makanan dalam porsi kecil tapi sering
e. Jelaskan manfaat nutrisi untuk proses penyembuhan
f. Berikan reinforcement saat klien mau dan berusaha menghabiskan makanan yang dihidangkan
g. Pertahankan hygiene mulut baik sebelum dan sesudah makan
h. Timbang BB setiap 2 hari sekali
Rasional :
a. Mengetahui kecukupan asupan nutrisi
b. Membantu menetapkan cara mengatasi mual
c. Mengurangi kelelahan saat makan
d. Adanya hepatomegali dapat menekan saluran gastrointestinal dan menurunkan kapasitasnya
e. Meningkatkan pengetahuan klien tentang nutrisi sehingga motivasi untuk makan meningkat
f. Motivasi akan meningkatkan kemauan
g. Akumulasi partikel dimulut dapat menambah baud an rasa tak sedap yang dapat menurunkan nafsu makan.
h. Dapat sebagai patokan untuk mengetahui kemajuan atau proses penyembuhan
4. Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan plasma darah sekunder terhadap reaksi immunologi
Intervensi :
a. Kaji KU klien / tanda vital
b. Observasi adanya tanda-tanda shock
c. Anjurkan klien untuk banyak minum
d. Kaji tanda dan gejala dehidrasi
e. Observasi input dan output
f. Kolaborasi pemberian cairan intravena
Rasional :
a. Menetapkan data dasar klien untuk mengetahui dengan cepat penyimpangan dari keadaan normal.
b. Agar dapat segera dilakukan tindakan untuk menangani
c. Asupan cairan sangat diperlukan untuk menambah volume cairan tubuh
d. Untuk mengetahui penyebab deficit volume cairan tubuh
e. Untuk mengetahui keseimbangan cairan
f. Pemberian cairan intravena sangat penting karena langsung masuk ke pembuluh darah ( vaskuler ).
5. Resiko shock hipovolemi berhubungan dengan perdarahan sekunder terhadap pembesaran kapiler.
Intervensi :
a. Monitor KU klien
b. Observasi tanda-tanda vital tiap 2 – 3 jam
c. Monitor tanda-tanda perdarahan
d. Jelaskan pada klien / keluarga tentang tanda- tanda perdarahan yang mungkin terjadi
e. Cek Hb, HT, AT setiap 6 jam
f. Kolaborasi untuk tindakan atau pemberian tranfusi
g. Kolaborasi pemberian hemostatikum
Rasional :
a. Untuk memantau kondisi klien selama mas perawatan
b. Observasi tanda-tanda vital secara terus menerus, untuk antisipasi adanya shock
c. Perdarahan yang cepat diketahui dapat segera ditangani atau dicegah
d. Dengan memberi penjelasan pada klien / keluarga diharapkan tanda-tanda shock atau perdarahan dapat segera diketahui
e. Untuk mengetahui tingkat kebocoran pembuluh darah dan sebagai dasar melakukan tindakan lebih lanjut
f. Untuk mengganti darah ( volume darah ) serta komponen darah yang hilang
g. Untuk membantu menghentikan perdarahan

J. PENATALAKSANAAN
1. Tirah baring
2. makanan lunak
Minum 1,5 – 2 liter / 24 jam
3. Pemberian medikamentosa yang bersaifat simtomatis
4. Antibiotik diberikan bila terdapat resiko infeksi sekunder
5. Pemberian cairan intravena


DAFTAR PUSTAKA


Carpenito, L.J. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan dan Dokumentasi. EGC: Jakarta
Syaifullah,N. 1998. Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam, FKUI : Jakarta

Photobucket